Pencemaran Udara akibat Gunung Berapi

Pencemaran Udara yang mempengaruhi iklim Dunia yang tertuang dalam fakta pada artikel berikut

Merapi yang Mendinginkan

EPISODE letusan Merapi beberapa waktu lalu memperlihatkan perbedaan mendasar dibandingkan dengan letusan-letusan sebelumnya. Untuk kali pertama selama 70 tahun terakhir, Merapi kembali mempertontonkan letusan vertikal bertipe vulkanian atau subplinian, dengan embusan debu vulkanik hingga ketinggian 8 km, sebelum menyebar ke area sangat luas hingga menjangkau Bogor, Jawa Barat.

Padahal, dalam letusan-letusan sebelumnya, Merapi hanya membangun kubah lava di puncak yang membesar dan akhirnya longsor sebagai aliran piroklastika (awan panas) dan ke lembah-lembah sungai di sekujur kakinya. Itulah ciri khas letusan tipe Merapi.

Volume magma yang dikeluarkan pun sangat berbeda. Letusan tahun 2006, misalnya, hanya mengeluarkan magma 8 juta m3 dengan kadar silikat 52%. Adapun Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menunjukkan, letusan beberapa waktu lalu (hingga 5 November 2010) menyemburkan sedikitnya 100 juta m3 magma dengan kadar silikat lebih tinggi, yakni 57%.

Volume magma letusan melebihi kapasitas lembah-lembah sungai yang berhulu di Gunung Merapi, sehingga terbentuk “jalan tol” yang membuat aliran piroklastika meluncur sejauh 17 km. Dengan suhu magma 600 derajat Celsius, energi letusan Merapi (hingga 5 November 2010) setara ledakan 600 butir bom nuklir Hiroshima secara simultan. Itu letusan berskala 4 Volcanic Explosivity Index (VEI) atau sejajar dengan letusan Gunung Galunggung 982-1983, letusan Gunung Agung 1963, dan letusan Vesuvius 79 yang legendaris.

Gunung Tambora

Letusan berskala 4 VEI merupakan letusan kataklismik yang berpengaruh besar terhadap lingkungan di sekitar dalam skala regional dan global. Letusan besar memengaruhi iklim dunia bertahun-tahun kemudian akibat sebaran debu vulkanik dan gas belerang (SO2) ke lapisan stratosfer yang membutuhkan waktu lama untuk mengendap kembali ke bumi. Gas belerang bereaksi dengan uap air menghasilkan asam sulfat (H2SO4) berbentuk aerosol.

Aerosol sangat efektif menghalangi sinar matahari ke bumi. Akibatnya, intensitas penyinaran matahari lebih kecil dibandingkan dengan kondisi normal, sehingga terjadi penurunan suhu global. Fenomena itu merujuk ke letusan Gunung Tambora 1815 yang sedemikian besar, sehingga menggiring seisi bumi ke malapetaka iklim teramat dalam yang tiada bandingan sepanjang sejarah manusia modern.

Tambora adalah gunung berapi di Pulau Sumbawa, di atas Semenanjung Sanggar dan diapit Teluk Saleh dan Laut Flores. Sebelum meletus 1815, Tambora berketinggian 4.300 m. Itulah gunung berapi tertinggi di Indonesia kala itu, sehingga bisa dilihat dengan jelas bahkan dari jarak cukup jauh seperti dari pantai timur Bali. Di kaki gunung itu berkembang tiga kerajaan kecil, yakni Sanggar, Tambora, dan Pekat. Ketiga kerajaan itu hidup makmur dari pertanian dan perdagangan.

Tambora sudah memperlihatkan geliat sejak 1812. Namun puncak letusan terjadi 11 April 1815 — letusan bertipe ultraplinian. Energi letusan 27.000 megaton TNT dengan skala 7 VEI, sehingga gemuruhnya terdengar sampai di Pulau Sumatera. Magma 150 km3 menyembur hingga ketinggian 43 km, menciptakan hujan abu yang merejam Jawa. Kedahsyatan letusan itu membuat sepertiga tubuh gunung terpenggal, sehingga ketinggiannya tinggal 2.720 m yang menyisakan kawah raksasa (kaldera) bergaris tengah 7 km.

Diestimasikan 36 km3 debu vulkanik masuk ke lapisan stratosfer sembari membentuk 200 juta ton aerosol sulfat yang menyebar ke segenap penjuru bumi. Debu dan aerosol itu menghalangi sinar matahari ke bumi, sehingga intensitas penyinaran matahari di bumi tinggal 75% dari normal. Dikombinasikan dengan ekstrimitas minimum Dalton (Suara Merdeka, 1 Maret 2010), terjadilah penurunan suhu 1 derajat Celsius di bawah normal (di Eropa 0,5 derajat Celsius). Itulah yang memicu malapetaka iklim dan membekukan dunia.

Tahun 1816, setahun setelah letusan, dikenal sebagai tahun tanpa musim panas. Suhu rataƱrata di Eropa sepanjang tahun sama dengan suhu musim dingin. Tanah diliputi salju, lahan pertanian pun puso. Tak ayal, setiap negara didera problem kelaparan serius. Di daerah lebih hangat seperti India, cuaca ekstrem membuat wabah kolera berkecamuk lebih luas. Korban jiwa akibat letusan dan kelaparan di Sumbawa saja, termasuk keterkuburan tiga kerajaan kecil tersebut, 100.000 jiwa. Namun total korban di seluruh penjuru bumi tak terhitung.

Antisipasi

Letusan Tambora memberikan pelajaran berharga tentang pengaruh sebaran debu dan aerosol sulfat di atmosfer terhadap penyimpangan dramatik iklim bumi. Model perhitungan pun dikembangkan, misalnya model TTAPS (lihat boks). Vulkanolog dan astrofisikawan kini menyepakati, sebaran debu dan aerosol sulfat di atmosfer baik oleh letusan besar gunung berapi maupun tumbukan komet atau asteroid berdampak global ketika energi yang dilepaskan melebihi 1.000 megaton TNT.

Energi letusan Merapi 2010 memang masih jauh dari batas itu. Bahkan jika digabungkan letusan Gunung Eyjafjallajokul (Islandia) yang sama-sama berskala 4 VEI, masih di bawah 100 megaton TNT sehingga dampak globalnya bisa dikesampingkan. Sebaliknya, dampak regional jadi keniscayaan. Citra satelit cuaca Aura milik NASA lewat instrumen Ozone Monitoring Instrument (OMI) pada 4-8 November 2010 menguatkan hal itu. Gas SO2 Merapi terkonsentrasi hanya di atas Jawa, ujung selatan Sumatera, baratlaut Australia dan Samudera Hindia. Volcanic Ash Advisory Centre yang berpusat di Darwin pun melaporkan, konsentrasi SO2 terpusat di ketinggian 12-15 km dari permukaan laut atau di batas lapisan troposfer dan stratosfer.

Harus dicatat, situasi atmosfer Indonesia menjelang letusan Merapi hampir sama dengan situasi menjelang letusan Tambora. Data bintik matahari dikorelasikan dengan pengukuran intensitas penyinaran memperlihatkan aktivitas matahari cenderung menurun.

Situasi itu menggiring bumi ke kondisi penurunan suhu global yang ditandai dengan anomali cuaca di mana-mana sejak awal tahun 2010 (Suara Merdeka, 1 Maret 2010). Di Indonesia, hujan turun nyaris setiap hari sepanjang tahun lalu seiring dengan tetap hangatnya permukaan samudera di sekitar Indonesia.

Menggunakan data letusan besar di kawasan tropis seperti letusan Tambora 1815, Krakatau 1883, St Maria 1902, Agung 1963, dan Pinatubo 1991, menunjukkan dengan volume magma 100 juta m3, Merapi berpotensi memproduksi 6 juta ton aerosol sulfat. Namun NASA mencatat, sejauh ini baru terbentuk 0,3 juta ton aerosol sulfat. Keberadaan aerosol sulfat berpotensi menurunkan intensitas penyinaran matahari, khususnya di kawasan Indonesia, sehingga hujan nyaris sepanjang tahun lalu akan berlanjut tahun ini.

Di sisi lain, secara empirik telah diketahui ada hubungan anomali cuaca dalam bentuk El-Nino dan letusan gunung berapi. Dr Joko Wiratmo (1998) memperlihatkan, letusan Galunggung dan El Chichon 1982 diikuti El-Nino 1982-1983. Begitu pula letusan Pinatubo 1991, yang diikuti El-Nino 1992-1993. Karena itu, letusan Merapi beberapa waktu lalu sangat mungkin pula diikuti El-Nino tahun 2011/2012.

Dua kemungkinan ekstrem itu harus diperhitungkan dan diantisipasi. Aerosol sulfat berpotensi turun bersama hujan sebagai hujan asam yang mematikan tumbuhan dan menurunkan cadangan ketahanan pangan. Hujan deras pun harus diwaspadai, khususnya di daerah langganan banjir dan longsor. Khusus di lereng Merapi, hujan juga harus diwaspadai karena bisa membentuk lahar hujan yang berpotensi mendatangkan bencana sekunder. Sebaliknya, El-Nino berpotensi mendatangkan kekeringan meluas yang bisa diikuti penurunan cadangan ketahanan pangan, selain kerusakan lingkungan seperti kebakaran hutan. (51)
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/01/03/133863/18/Merapi-yang-Mendinginkan


NIM:
08303244030
dan
08303244041
Label:Tanah, Air, Udara | edit post
0 Responses

Posting Komentar